Pada zaman dahulu, ada sebuah negeri yang sangat makmur. Negeri tersebut dikenal sebagai negeri yang subur tanahnya, yang hijau alamnya, dan sumber-sumber daya alam lain yang melimpah. Penduduk negeri tersebut tidak pernah kekurangan akan kebutuhan hidupnya. Sang raja dari negeri itu sangat adil dan berwibawa. Ia mampu membawa rakyatnya hidup tenteram, damai dan sejahtera. Para rakyatnya sangat menghormati beliau. Mereka adalah orang-orang yang bekerja keras, rajin bekerja, anak-anak mereka rajin belajar, sehingga majulah negeri itu dalam berbagai hal. Sekolah-sekolah banyak diisi oleh murid-murid yang berprestasi.
Selang beberapa tahun kemudian, sang raja pun wafat. Seluruh penduduk negeri tersebut bersedih karena raja yang mereka hormati dan kagumi telah tiada. Negeri itupun kehilangan seorang tokoh yang sangat berjasa dan membanggakan bagi rakyatnya. Kemudian istana dan seluruh rakyatpu bergotong royong membangun sebuah patung sang raja untuk mengenang jasa-jasanya yang luar biasa.
Singkat cerita, terbangunlah patung sang raja tersebut. Patung tersebut bentuknya besar dan menjulang tinggi bak gedung pencakar langit di era masa kini. Bibir pada wajah patung tersebut dibentuk tersenyum sebagai tanda bahwa sang raja telah memberikan kesejahteraan kepada seluruh hingga ajal menjemputnya. Patung itu didirikan dan diletakan tepat di depan istana kerajaan. Patung pangeran kerajaan yang dibuat menjulang tinggi tersebut adalah patung yang termegah di seluruh negeri itu, seluruh badannya dibentuk dengan ribuan sisik-sisik yang terbuat dari emas murni demikian pula sebuah pedang besar yang disandang di tangan kanannya, bola matanya terbuat dari berlian yang harganya sangat-sangat mahal sekali, dan mahkotanya bertahtakan perak yang mengkilat dan bersinar.
Setelah wafatnya sang raja, lalu digantikan oleh pewarisnya, yaitu anaknya. Saat sang anak menjadi raja, berubahlah seluruh tatanan dan keadaan istana. Pejabat-pejabat istana yang memang pada awalnya adalah orang-orang yang suka menjilat, namun pada masa sang raja tidak dapat berbuat apa-apa karena keperkasaan sang raja, kini tingkahnya menjadi-jadi. Mereka berfoya-foya menghabiskan uang rakyat. Mereka semakin berani menggelapkan uang rakyat. Sehingga rakyatpun hidup menderita. Kehidupan yang semula sejahtera berubah menjadi sengsara. Anak-anak banyak yang tidak lagi mampu sekolah. Oleh karena itu prestasi negeri tersebut semakin merosot.
Sementara itu di negeri tersebut, saat itu, sedang dilanda oleh musim kemarau yang berkepanjangan. Musim kemarau yang berkepanjangan tersebut membuat air yang menggenangi sawah-sawah di negeri itu kering kerontang, tanaman padi yang ditanam oleh para penggarapnya pun berguguran satu demi satu. Tanaman padi itu tidak tahan terhadap musim kemarau yang berkepanjangan tersebut, dan oleh karenanya mereka pun akhirnya mati.
Pada suatu hari, segerombolan burung bul-bul sedang terbang melintasi patung sang raja. Burung-burung tersebut hendak melakukan perjalanan ke negeri sebelah yang dikenal subur dan saat itu tidak mengalami masa kemarau. Seekor burung bul-bul merasa takjub melihat keindahan patung sang raja. Ia pun berhenti dan hinggap di pundak patung sang raja.
Pada saat itu burung bul-bul itu berkata kepada teman-temannya agar teman-temannya melanjutkan perjalanannya saja menuju negeri seberang, nanti setelah dia menikmati keelokan patung sang raja ini dia akan menyusul teman-temannya. Mendengar apa yang dikatakan oleh burung bul-bul tersebut, gerombolan teman-temannya itu pun kemudian melanjutkan perjalanannya. Sepeninggalan teman-temannya tersebut burung bul-bul itu benar-benar menikmati keelokan patung pangerannya tersebut, pandangannya dilekatkan pada tiap lekuk-lekuk tekstur patung tersebut.
Di tengah keasyikannya menikmati keindahan patung sang raja, tiba-tiba terdengar suara mendesah di telinganya. Ia pun kaget bukan alang kepalang. Dikiranya ada manusia yang sedang mengincarnya. Pada saat burung bul-bul itu mencari-cari sumber suara, kembali ia dikagetkan dengan suara yang memanggil namanya. Spontan ia melompat ke udara untuk menghindari sesuatu yang mengancamnya.
“Hai burung Bul-bul, maukah kau membantuku?” Suara itu ternyata berasal dari mulut sang patung.
Burung bul-bul itu tersentak kaget karena patung itu dapat berbicara. “Engkaukah yang sedang bicara patung?”
“Benar burung bul-bul aku yang sedang berbicara!” Seru patung pangeran itu.
“Maukah engkau membantuku wahai burung bul-bul?”
Burung bul-bul tidak menjawab pertanyaan dari patung tersebut, justru burung bul-bul malah balik bertanya kepada patung tersebut,
“Apa yang bisa aku bantu wahai patung sang raja?”
“Sebenarnya aku telah melihat dikejauhan sana ada seorang anak kecil yang sedang menangis dan merintih di depan warung makanan. Dia menangis dan merintih karena perutnya lapar, dan karena dia tidak memiliki uang untuk membeli makanan tersebut maka dia pun juga tidak dapat memakan makanan yang dijual tersebut. karena untuk dapat memakannya, anak kecil itu harus memiliki uang untuk membelinya. Aku manangis melihat tangisan dan rintihan anak kecil itu wahai burung bul-bul. Maukah engkau menolongku dengan mencungkil salah satu sisik emas yang melekat pada tubuhku ini untuk diberikan kepada anak kecil itu, agar anak kecil itu dapat membeli makanan itu demi untuk mengobati perutnya yang kelaparan?”
“Jadi hal itu ternyata yang membuatmu menangis wahai patung sang raja. Baiklah aku akan membantumu, dan aku akan mencungkil salah satu sisik emas yang melekat pada tubuhmu ini dan kemudian akan aku berikan kepada anak kecil yang sedang kelaparan tersebut.”
Burung bul-bul itu pun berusaha keras untuk mencungkil salah satu sisik itu dengan paruhnya. Walaupun cukup lama burung bul-bul itu berusaha untuk mencungkil salah satu sisi emas itu, akhirnya tercungkillah salah satu sisik emas yang melekat di tubuh patung tersebut.
Setelah itu burung bul-bul itu pun terbang menghampiri anak kecil yang sedang menangis itu dan menyerahkan sisik emas itu. Menerima apa yang diberikan oleh burung bul-bul tersebut, anak itu tampak gembira luar biasa dan berkali-kali mengucapkan terima kasih yang amat sangat.
Setelah memberikan sisik emas itu dan menerima ucapan terima kasih dari anak kecil itu, burung bul-bul itu pun kembali terbang menuju patung sang raja tersebut dan hinggap di pundak patung itu. Pada saat itulah patung sang raja itu bercerita pada burung bul-bul itu.
“Sewaktu aku masih hidup wahai burung bul-bul, saat aku menjadi seorang manusia dulu aku tidak pernah merasa sesedih ini. Hidup ku selalu penuh dengan kegembiraan. Dulu sewaktu aku masih menjadi manusia aku tidak pernah melihat kesengsaraan yang sedemikian menyedihkan, karena seluruh hidupku aku isi dengan memberikan segenap kemampuanku untuk memakmurkan seluruh rakyatku. Aku tidak akan bisa tidur nyenyak bila ada satu saja rakyatku yang kelaparan. Aku akan berjuang sampai batas kekuatanku untuk mensejahterakan rakyatku. Jika rakyatku menangis, maka aku akan menangis juga. Jika rakyatku sejahtera dan gembira, akulah orang pertama yang merasa bahagia. Lalu ajal menjemputku. Sekarang aku sangat sedih sekali, karena sepeninggalku, pewarisku tidak menyampaikan amanahku untuk memperhatikan nasib rakyat, untuk mensejahterakan seluruh rakyat. Dia dan pejabat-pejabat istana hanya memikirkan kesenangan sendiri, menguras uang rakyatku dengan semena-mena tanpa pernah memikirkan nasih dan kesejahteraannya. Aku sangat terpukul dan pilu melihat rakyatku sekarang wahai burung bul-bul, sahabatku?”
“Benar patung sang raja. Sudah seharusnyalah kita saling tolong menolong untuk kebaikan, Aku juga senang dapat menolongmu.”
“Sebenarnya engkau ini mau kemana burung bul-bul. Aku lihat engkau tadi bersama kawan-kawanmu terbang bergerombol menuju timur matahari?”
“Aku sebenarnya bersama teman-temanku akan pergi ke negeri seberang, negeri yang terkenal subur dan tidak pernah dilanda kekeringan. Kami pergi bergerombol ke sana, karena di musim kemarau seperti ini susah sekali mencari makanan di negeri ini. Dan oleh sebab itulah kami semua sepakat untuk mencari negeri yang alamnya dapat menghidupi kelangsungan hidup kami.”
Setelah mereka berbincang-bincang cukup lama akhirnya burung bul-bul itu pun tertidur di pundak patung sang raja, hingga pagi hari pun menjelang dan sang surya menampakkan senyum dan batang hidungnya.
Pagi itu burung bul-bul itu sedang berkemas-kemas untuk menyusul teman-temannya yang sudah terlebih dahulu terbang menuju negeri seberang, ketika patung sang raja berkata pada si burung bul-bul, “Wahai burung bul-bul sahabatku, maukah engkau membantuku lagi hari ini?”
“Tapi Patung sang raja, aku tidak bisa membantumu lagi untuk hari ini, karena aku harus segera menyusul kawan-kawanku di negeri seberang. Dan selain itu juga persediaan makananku semakin menipis, aku takut nanti kehabisan persediaan makanan.”
“Wahai burung bul-bul sahabatku, bantulah aku untuk untuk kali ini saja. Jauh di sana aku melihat ada seorang anak yang tidak bisa bersekolah. Di ujung lainnya aku juga melihat ada satu keluarga yang tidak bisa makan, apalagi mendapatkan gizi yang cukup. Di tempat lain lagi aku juga melihat orang-orang yang berbuat jahat karena tidak ada lagi cara untuk mencukupi kebutuhan hidupnya Kasihan anak-anak itu yang sedang duduk dengan perut kelaparan menunggu orang tuanya bekerja menjadi buruh serabutan.”
Burung bul-bul pun merasa ikut sedih mendengar apa yang diceritakan oleh patung tersebut akhirnya burung bul-bul pun mengurungkan niatnya untuk menyusul teman-temannya di negeri seberang tersebut, dan kemudian bekerja keras untuk mencungkil salah satu sisik emas itu dengan paruhnya yang kecil. Seperti halnya pada saat pertama kali si burung bul-bul berusaha mencongkel sisik emas tersebut, burung bul-bul itu akhirnya juga dapat menconkel sisik emas tersebut.
Setelah burung bul-bul itu telah berhasil mencongkel sisik emas tersebut, kemudian burung bul-bul membawa terbang sisik emas tersebut menuju seorang anak yang sedang menangis karena tak bisa sekolah. Lalu selanjutnya burung bul-bul mencongkel kembali sisik emas di patung sang raja dan membagi-bagikan emas tersebut kepada orang-orang yang ditunjuk oleh sang patung.
Selesai memberikan sisik emas tersebut, kemudian burung bul-bul pun tidak langsung kembali kepada patung sang raja tersebut, namun ia ingin terlebih dahulu berkeliling negeri untuk menikmati suasana seluruh negeri sang raja. Ketika dia terbang berkeliling ke seluruh negeri, dia menyaksikan banyak sekali orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, mereka hidup menderita, anak-anak mereka tidak dapat bersekolah karena alasan biaya, dan banyak di antara mereka juga mengalami kelaparan yang luar biasa. Sementara itu burung bul-bul itu juga menyaksikan berbagai pesta di dalam istana dan berbagai kesenangan suka ria di lingkungan istana. Apa yang semua disaksikan oleh burung bul-bul tersebut kemudian diceritakan semuanya kepada patung sang raja sahabatnya itu.
Mendengarkan apa yang diceritakan atau dituturkan oleh burung bul-bul sahabatnya tersebut, tertumpahlah air mata patung sang raja tersebut. Dia sangat sedih mengetahui keadaan rakyatnya tersebut, lalu dia meminta kepada burung bul-bul sahabatnya agar burung bul-bul bersedia untuk mencongkel semua sisik-sisik yang ada di sekujur tubuhnya untuk dibagikan secara merata kepada rakyatnya yang menderita tersebut.
Atas permintaan pertolongan dari patung sang raja tersebut lah kemudian burung bul-bul dengan sisa-sisa tenaganya mencungkil satu demi satu sisik-sisik emas yang melekat disekujur tubuh pangeran tersebut, dan kemudian membagi-bagikannya kepada seluruh rakyat negeri yang hidup dalam kesusahan dan menderita.
“Wahai burung bul-bul sahabatku, aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepadamu karena telah menolongku untuk membagi-bagikan sisik-sisik emas, mahkota dan kedua bola mataku yang terbuat dari berlian kepada rakyatku yang hidup dengan penuh penderitaan. Sekali lagi aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih, burung bul-bul sahabatku.”
“Sama-sama patung. Itu sudah menjadi kewajiban dari kita untuk saling tolong-menolong, dan aku senang dapat menolong engkau. Engaku dalam pandanganku adalah seorang yang berhati mulia dan dalam pikiranmu aku bisa membaca kalau engkau merasa bermakna ketika dihatimu ada keperdulian terhadap orang lain. Aku sangat bangga memiliki sahabat seperti dirimu patung.”
“Sekarang engkau boleh pergi untuk menyusul teman-temanmu di negeri seberang. Silahkan burung bul-bul, aku sekarang tidak akan menghalang-halangi untuk menyusul teman-temanmu itu.”
Mendengar apa yang dikatakan oleh patung sahabatnya tersebut, burung bul-bul mengatakan bahwa dia tidak akan pergi meninggalkan patung pangeran sahabatnya itu karena tidak tidak tega melihat kondisi patung pangeran tersebut yang sekujur tubuhnya sekarang terlihat sangat lusuh sekali, tidak terlihat elok, yang terlihat adalah bak rongsokan atau sampahan yang tidak ada nilainya sama sekali.
“Tidak patung sahabatku, walaupun sekarang persediaan makanku telah habis dan perutku sekarang terasa sangat lapar sekali, aku tidak akan meninggalkan engkau sahabatku. Engkau sekarang tidak lagi memiki sepasang bola mata dan engkau tidak dapat melihat lagi dikejauhan dan memandangi negerimu yang telah terentas dari masalah kemiskinan tersebut. Aku akan tetap di sini sahabatku untuk mengantikan kedua bola matamu melihat yang engkau cintai ini.” Begitulah, akhirnya burung bul-bul dan patung sang raja itu pun merasa puas telah membantu seluruh rakyat kembali kepada kesejahteraan. Burung yang suka menolong dan patung sang raja yang dermawan. (sumber gambar: http://mureo.com)
Selang beberapa tahun kemudian, sang raja pun wafat. Seluruh penduduk negeri tersebut bersedih karena raja yang mereka hormati dan kagumi telah tiada. Negeri itupun kehilangan seorang tokoh yang sangat berjasa dan membanggakan bagi rakyatnya. Kemudian istana dan seluruh rakyatpu bergotong royong membangun sebuah patung sang raja untuk mengenang jasa-jasanya yang luar biasa.
Singkat cerita, terbangunlah patung sang raja tersebut. Patung tersebut bentuknya besar dan menjulang tinggi bak gedung pencakar langit di era masa kini. Bibir pada wajah patung tersebut dibentuk tersenyum sebagai tanda bahwa sang raja telah memberikan kesejahteraan kepada seluruh hingga ajal menjemputnya. Patung itu didirikan dan diletakan tepat di depan istana kerajaan. Patung pangeran kerajaan yang dibuat menjulang tinggi tersebut adalah patung yang termegah di seluruh negeri itu, seluruh badannya dibentuk dengan ribuan sisik-sisik yang terbuat dari emas murni demikian pula sebuah pedang besar yang disandang di tangan kanannya, bola matanya terbuat dari berlian yang harganya sangat-sangat mahal sekali, dan mahkotanya bertahtakan perak yang mengkilat dan bersinar.
Setelah wafatnya sang raja, lalu digantikan oleh pewarisnya, yaitu anaknya. Saat sang anak menjadi raja, berubahlah seluruh tatanan dan keadaan istana. Pejabat-pejabat istana yang memang pada awalnya adalah orang-orang yang suka menjilat, namun pada masa sang raja tidak dapat berbuat apa-apa karena keperkasaan sang raja, kini tingkahnya menjadi-jadi. Mereka berfoya-foya menghabiskan uang rakyat. Mereka semakin berani menggelapkan uang rakyat. Sehingga rakyatpun hidup menderita. Kehidupan yang semula sejahtera berubah menjadi sengsara. Anak-anak banyak yang tidak lagi mampu sekolah. Oleh karena itu prestasi negeri tersebut semakin merosot.
Sementara itu di negeri tersebut, saat itu, sedang dilanda oleh musim kemarau yang berkepanjangan. Musim kemarau yang berkepanjangan tersebut membuat air yang menggenangi sawah-sawah di negeri itu kering kerontang, tanaman padi yang ditanam oleh para penggarapnya pun berguguran satu demi satu. Tanaman padi itu tidak tahan terhadap musim kemarau yang berkepanjangan tersebut, dan oleh karenanya mereka pun akhirnya mati.
Pada suatu hari, segerombolan burung bul-bul sedang terbang melintasi patung sang raja. Burung-burung tersebut hendak melakukan perjalanan ke negeri sebelah yang dikenal subur dan saat itu tidak mengalami masa kemarau. Seekor burung bul-bul merasa takjub melihat keindahan patung sang raja. Ia pun berhenti dan hinggap di pundak patung sang raja.
Pada saat itu burung bul-bul itu berkata kepada teman-temannya agar teman-temannya melanjutkan perjalanannya saja menuju negeri seberang, nanti setelah dia menikmati keelokan patung sang raja ini dia akan menyusul teman-temannya. Mendengar apa yang dikatakan oleh burung bul-bul tersebut, gerombolan teman-temannya itu pun kemudian melanjutkan perjalanannya. Sepeninggalan teman-temannya tersebut burung bul-bul itu benar-benar menikmati keelokan patung pangerannya tersebut, pandangannya dilekatkan pada tiap lekuk-lekuk tekstur patung tersebut.
Di tengah keasyikannya menikmati keindahan patung sang raja, tiba-tiba terdengar suara mendesah di telinganya. Ia pun kaget bukan alang kepalang. Dikiranya ada manusia yang sedang mengincarnya. Pada saat burung bul-bul itu mencari-cari sumber suara, kembali ia dikagetkan dengan suara yang memanggil namanya. Spontan ia melompat ke udara untuk menghindari sesuatu yang mengancamnya.
“Hai burung Bul-bul, maukah kau membantuku?” Suara itu ternyata berasal dari mulut sang patung.
Burung bul-bul itu tersentak kaget karena patung itu dapat berbicara. “Engkaukah yang sedang bicara patung?”
“Benar burung bul-bul aku yang sedang berbicara!” Seru patung pangeran itu.
“Maukah engkau membantuku wahai burung bul-bul?”
Burung bul-bul tidak menjawab pertanyaan dari patung tersebut, justru burung bul-bul malah balik bertanya kepada patung tersebut,
“Apa yang bisa aku bantu wahai patung sang raja?”
“Sebenarnya aku telah melihat dikejauhan sana ada seorang anak kecil yang sedang menangis dan merintih di depan warung makanan. Dia menangis dan merintih karena perutnya lapar, dan karena dia tidak memiliki uang untuk membeli makanan tersebut maka dia pun juga tidak dapat memakan makanan yang dijual tersebut. karena untuk dapat memakannya, anak kecil itu harus memiliki uang untuk membelinya. Aku manangis melihat tangisan dan rintihan anak kecil itu wahai burung bul-bul. Maukah engkau menolongku dengan mencungkil salah satu sisik emas yang melekat pada tubuhku ini untuk diberikan kepada anak kecil itu, agar anak kecil itu dapat membeli makanan itu demi untuk mengobati perutnya yang kelaparan?”
“Jadi hal itu ternyata yang membuatmu menangis wahai patung sang raja. Baiklah aku akan membantumu, dan aku akan mencungkil salah satu sisik emas yang melekat pada tubuhmu ini dan kemudian akan aku berikan kepada anak kecil yang sedang kelaparan tersebut.”
Burung bul-bul itu pun berusaha keras untuk mencungkil salah satu sisik itu dengan paruhnya. Walaupun cukup lama burung bul-bul itu berusaha untuk mencungkil salah satu sisi emas itu, akhirnya tercungkillah salah satu sisik emas yang melekat di tubuh patung tersebut.
Setelah itu burung bul-bul itu pun terbang menghampiri anak kecil yang sedang menangis itu dan menyerahkan sisik emas itu. Menerima apa yang diberikan oleh burung bul-bul tersebut, anak itu tampak gembira luar biasa dan berkali-kali mengucapkan terima kasih yang amat sangat.
Setelah memberikan sisik emas itu dan menerima ucapan terima kasih dari anak kecil itu, burung bul-bul itu pun kembali terbang menuju patung sang raja tersebut dan hinggap di pundak patung itu. Pada saat itulah patung sang raja itu bercerita pada burung bul-bul itu.
“Sewaktu aku masih hidup wahai burung bul-bul, saat aku menjadi seorang manusia dulu aku tidak pernah merasa sesedih ini. Hidup ku selalu penuh dengan kegembiraan. Dulu sewaktu aku masih menjadi manusia aku tidak pernah melihat kesengsaraan yang sedemikian menyedihkan, karena seluruh hidupku aku isi dengan memberikan segenap kemampuanku untuk memakmurkan seluruh rakyatku. Aku tidak akan bisa tidur nyenyak bila ada satu saja rakyatku yang kelaparan. Aku akan berjuang sampai batas kekuatanku untuk mensejahterakan rakyatku. Jika rakyatku menangis, maka aku akan menangis juga. Jika rakyatku sejahtera dan gembira, akulah orang pertama yang merasa bahagia. Lalu ajal menjemputku. Sekarang aku sangat sedih sekali, karena sepeninggalku, pewarisku tidak menyampaikan amanahku untuk memperhatikan nasib rakyat, untuk mensejahterakan seluruh rakyat. Dia dan pejabat-pejabat istana hanya memikirkan kesenangan sendiri, menguras uang rakyatku dengan semena-mena tanpa pernah memikirkan nasih dan kesejahteraannya. Aku sangat terpukul dan pilu melihat rakyatku sekarang wahai burung bul-bul, sahabatku?”
“Benar patung sang raja. Sudah seharusnyalah kita saling tolong menolong untuk kebaikan, Aku juga senang dapat menolongmu.”
“Sebenarnya engkau ini mau kemana burung bul-bul. Aku lihat engkau tadi bersama kawan-kawanmu terbang bergerombol menuju timur matahari?”
“Aku sebenarnya bersama teman-temanku akan pergi ke negeri seberang, negeri yang terkenal subur dan tidak pernah dilanda kekeringan. Kami pergi bergerombol ke sana, karena di musim kemarau seperti ini susah sekali mencari makanan di negeri ini. Dan oleh sebab itulah kami semua sepakat untuk mencari negeri yang alamnya dapat menghidupi kelangsungan hidup kami.”
Setelah mereka berbincang-bincang cukup lama akhirnya burung bul-bul itu pun tertidur di pundak patung sang raja, hingga pagi hari pun menjelang dan sang surya menampakkan senyum dan batang hidungnya.
Pagi itu burung bul-bul itu sedang berkemas-kemas untuk menyusul teman-temannya yang sudah terlebih dahulu terbang menuju negeri seberang, ketika patung sang raja berkata pada si burung bul-bul, “Wahai burung bul-bul sahabatku, maukah engkau membantuku lagi hari ini?”
“Tapi Patung sang raja, aku tidak bisa membantumu lagi untuk hari ini, karena aku harus segera menyusul kawan-kawanku di negeri seberang. Dan selain itu juga persediaan makananku semakin menipis, aku takut nanti kehabisan persediaan makanan.”
“Wahai burung bul-bul sahabatku, bantulah aku untuk untuk kali ini saja. Jauh di sana aku melihat ada seorang anak yang tidak bisa bersekolah. Di ujung lainnya aku juga melihat ada satu keluarga yang tidak bisa makan, apalagi mendapatkan gizi yang cukup. Di tempat lain lagi aku juga melihat orang-orang yang berbuat jahat karena tidak ada lagi cara untuk mencukupi kebutuhan hidupnya Kasihan anak-anak itu yang sedang duduk dengan perut kelaparan menunggu orang tuanya bekerja menjadi buruh serabutan.”
Burung bul-bul pun merasa ikut sedih mendengar apa yang diceritakan oleh patung tersebut akhirnya burung bul-bul pun mengurungkan niatnya untuk menyusul teman-temannya di negeri seberang tersebut, dan kemudian bekerja keras untuk mencungkil salah satu sisik emas itu dengan paruhnya yang kecil. Seperti halnya pada saat pertama kali si burung bul-bul berusaha mencongkel sisik emas tersebut, burung bul-bul itu akhirnya juga dapat menconkel sisik emas tersebut.
Setelah burung bul-bul itu telah berhasil mencongkel sisik emas tersebut, kemudian burung bul-bul membawa terbang sisik emas tersebut menuju seorang anak yang sedang menangis karena tak bisa sekolah. Lalu selanjutnya burung bul-bul mencongkel kembali sisik emas di patung sang raja dan membagi-bagikan emas tersebut kepada orang-orang yang ditunjuk oleh sang patung.
Selesai memberikan sisik emas tersebut, kemudian burung bul-bul pun tidak langsung kembali kepada patung sang raja tersebut, namun ia ingin terlebih dahulu berkeliling negeri untuk menikmati suasana seluruh negeri sang raja. Ketika dia terbang berkeliling ke seluruh negeri, dia menyaksikan banyak sekali orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, mereka hidup menderita, anak-anak mereka tidak dapat bersekolah karena alasan biaya, dan banyak di antara mereka juga mengalami kelaparan yang luar biasa. Sementara itu burung bul-bul itu juga menyaksikan berbagai pesta di dalam istana dan berbagai kesenangan suka ria di lingkungan istana. Apa yang semua disaksikan oleh burung bul-bul tersebut kemudian diceritakan semuanya kepada patung sang raja sahabatnya itu.
Mendengarkan apa yang diceritakan atau dituturkan oleh burung bul-bul sahabatnya tersebut, tertumpahlah air mata patung sang raja tersebut. Dia sangat sedih mengetahui keadaan rakyatnya tersebut, lalu dia meminta kepada burung bul-bul sahabatnya agar burung bul-bul bersedia untuk mencongkel semua sisik-sisik yang ada di sekujur tubuhnya untuk dibagikan secara merata kepada rakyatnya yang menderita tersebut.
Atas permintaan pertolongan dari patung sang raja tersebut lah kemudian burung bul-bul dengan sisa-sisa tenaganya mencungkil satu demi satu sisik-sisik emas yang melekat disekujur tubuh pangeran tersebut, dan kemudian membagi-bagikannya kepada seluruh rakyat negeri yang hidup dalam kesusahan dan menderita.
“Wahai burung bul-bul sahabatku, aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepadamu karena telah menolongku untuk membagi-bagikan sisik-sisik emas, mahkota dan kedua bola mataku yang terbuat dari berlian kepada rakyatku yang hidup dengan penuh penderitaan. Sekali lagi aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih, burung bul-bul sahabatku.”
“Sama-sama patung. Itu sudah menjadi kewajiban dari kita untuk saling tolong-menolong, dan aku senang dapat menolong engkau. Engaku dalam pandanganku adalah seorang yang berhati mulia dan dalam pikiranmu aku bisa membaca kalau engkau merasa bermakna ketika dihatimu ada keperdulian terhadap orang lain. Aku sangat bangga memiliki sahabat seperti dirimu patung.”
“Sekarang engkau boleh pergi untuk menyusul teman-temanmu di negeri seberang. Silahkan burung bul-bul, aku sekarang tidak akan menghalang-halangi untuk menyusul teman-temanmu itu.”
Mendengar apa yang dikatakan oleh patung sahabatnya tersebut, burung bul-bul mengatakan bahwa dia tidak akan pergi meninggalkan patung pangeran sahabatnya itu karena tidak tidak tega melihat kondisi patung pangeran tersebut yang sekujur tubuhnya sekarang terlihat sangat lusuh sekali, tidak terlihat elok, yang terlihat adalah bak rongsokan atau sampahan yang tidak ada nilainya sama sekali.
“Tidak patung sahabatku, walaupun sekarang persediaan makanku telah habis dan perutku sekarang terasa sangat lapar sekali, aku tidak akan meninggalkan engkau sahabatku. Engkau sekarang tidak lagi memiki sepasang bola mata dan engkau tidak dapat melihat lagi dikejauhan dan memandangi negerimu yang telah terentas dari masalah kemiskinan tersebut. Aku akan tetap di sini sahabatku untuk mengantikan kedua bola matamu melihat yang engkau cintai ini.” Begitulah, akhirnya burung bul-bul dan patung sang raja itu pun merasa puas telah membantu seluruh rakyat kembali kepada kesejahteraan. Burung yang suka menolong dan patung sang raja yang dermawan. (sumber gambar: http://mureo.com)
0 komentar:
Posting Komentar