Abdul Qadir al-Jailani

Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang teolog, ulama yang ahli di bidang usul dan fikih dalam Mazhab Hanbali, seorang sufi besar di zamannya, dan pendiri tarekat Kadiriah. Ia juga disebut dengan nama Abdul Qadir al-Jili. Di Bagdad ia dikenal dengan panggilan al-Ajami. Nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost al-Jailani. Ada pula yang mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Dost Musa bin Abi Abdillah bin Yahya Abdillah bin Musa al-Jun bin Abdul Muhsin bin Hasan al-Musanna bin Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Talib RA. Menurut garis keturunan ini, ia termasuk cucu Nabi Muhammad SAW. Abdul Qadir al-Jailani lahir di Jilan, pada tahun 470 H/1077 M, dan wafat di Baghdad, tahun 561 H/1166 M.
Abdul Qadir al-Jailani lahir dan dididik dalam lingkungan keluarga sufi. Ia tumbuh di bawah tempaan ibu (Fatimah binti Abdullah as-Sauma’i) dan kakeknya (Syekh Abdullah as-Sauma’i), yang kedua-duanya wali. Sejak kecil, Abdul Qadir al-Jailani telah tampak berbeda dari anak-anak lainnya. Ia tidak suka bermain-main bersama anak-anak lain. Sejak usia dini ia terus mematangkan kekuatan batin yang dimilikinya. Ia mulai belajar mengaji sejak berusia sepuluh tahun.
Dalam usia 18 tahun ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizamiyah yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang sufi besar, Ahmad al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani mengikuti pelajaran  fikih Mazhab Hanbali dari Abu Sa’d Mubarak al-Mukharrimi (pemimpin sekolah hokum Hanbali) sampai ia mendapat ijazah dari gurunya tersebut. Mulai tahun 521 H/1127 M Abdul Qadir al-jailani mengajar dan berfatwa dalam mazhab tersebut kepada masyarakat luas sampai akhir hidupnya. Untuk itu, ia  juga mendapat restu dari seorang sufi besar, Yusuf al-Hamadani. Pada tahun 528 H untuk Abdul Qadir al-Jailani didirikan sebuah madrasah dan ribat di Baghdad yang dijadikan sebagai tempat tinggal bersama keluarganya dan sekaligus tempat mengajar murid-muridnya yang juga tinggal bersamanya.
Ribat ketika itu lebih penting daripada zawiyat, suatu tempat melakukan suluk dan latihan-latihan para sufi. Sesudah ia wafat, madrasahnya itu diteruskan oleh anaknya, Abdul Wahhab (552 H/1151 M – 593 H/1197 M), kemudian dilanjutkan pula oleh anaknya yang lain, Abdus Salam (548 H/1153 M – 611 H/1213 M). Diceritakan bahwa ada lagi seorang putra Abdul Qadir al-Jailani yang bernama Abdur Razzaq (528 H/1134 M – 603 H/1207 M), seorang zahid dan saleh.
Abdul Qadir al-Jailani meninggalkan beberapa karya tulis yang berisikan ajaran agama, terutama tasawuf. Karyanya itu antara lain: al-Gunya li Talibi Tariq al-Haqq (Bekal yang Cukup Bagi Pencari Jalan yang Benar) yang terbit di Cairo pada tahun 1288; al-Fath ar-Rabbani (Pembuka Ketuhanan) atau Sittin Majalis (Enam Puluh Majelis), berisikan 62 khotbah yang disampaikannya antara tahun 545 H/1150 M – 546 H/1152 M, terbit di Cairo pada tahun 1302; dan Futuh al-Gaib (Terbukanya Hal-hal yang Gaib), berisikan 78 khotbah dalam berbagai masalah yang dikumpulkan oleh putranya, Abdur Razzaq, terbit di Cairo pada tahun 1304. Biografi lengkapnya tertulis dalam manakib Abdul Qadir al-Jailani (Manakib). Di Indonesia manakib tersebut banyak dibaca orang, terutama pada hari-hari tertentu dan penting, seperti hari Asura (tanggal 10 Muharam), tanggal 27 Rajab, hari Nisfu Syakban (pertengahan bulan Syakban, yaitu terjadinya perubahan kiblat dari Baitulmakdis ke Ka’bah) dan hari pertama bulan Safar.
Abdul Qadir al-Jailani adalah seorang tokoh yang keras berpegang teguh pada kebenaran dan prinsip perjuangannya. Dia tidak segan-segan memberi nasihat kepada penguasa, bahkan kepada khalifah sekallipun. Pada waktu Khalifah al-Muktafi (531 – 555 H/1136 – 1160 M) dari Bani Seljuk mengangkat ibnu Muzahim yang dikenal sebagai seorang yang lalim sebagai hakim, Abdul Qadir al-Jailani naik mimbar dan berpidato yang isinya antara lain: “Wahai Amirulmukminin, Tuan angkat seorang yang terkenal paling lalim menjadi kadi bagi kaum muslimin. Apakah jawaban Tuan nanti bila ditanya hal itu oleh Tuhan Yang Maha Penyayang?” Khalifah gemetar dan menangis mendengar khotbah tersebut. Ia langsung memecat kadi yang diangkatnya itu.
Abdul Qadir al-Jailani menyeru murid-muridnya untuk bekerja keras dalam kehidupannya. Tarekat tidak berarti membelakangi kehidupan. Ia berkata: “Sembahlah olehmu Allah Azza Wajalla (Allah Yang Maha Baik dan Maha Mulia). Mintalah pertolongan agar diberikan kerja yang halal untuk memperkuat ibadah kepada-Nya.”
Dengan ilmu dan kepribadiannya yang utuh, Abdul Qadir al-Jailani mendapat sanjungan dari berbagai pihak. Ibnu Araby menganggap Abdul Qadir al-Jailani sebagai seorang yang pantas menjadi wali qutub (pemimpin para wali) pada masanya. Abu Hasan an-Nadwi, seorang ahli sejarah, mengatakan sebagai berikut: “Abdul Qadir al-Jailani telah menyaksikan apa yang telah menimpa umat Islam pada masanya. Mereka hidup terpecah-belah dan saling bermusuhan. Cinta dunia telah mendominasi mereka di samping berbut kehormatan di sisi raja dan sultan. Manusia sudah berpaling pada materi, jabatan, dan kekuasaan. Mereka berkeliling di sekitar penguasa dan mengkultuskannya. Syekh Abdul Qadir al-Jailani hidup di tengah-tengah mereka. Akan tetapi, dia menjauhkan diri dari semua itu dengan fisik dan mentalnya. Dia bahkan menghadapinya dengan memberikan nasihat, bimbingan, dakwah, dan pendidikan untuk memperbaiki jiwa kaum muslimin dan membersihkannya.”
Tarekat Kadiriah yang dirintis Abdul Qadir al-Jailani berpusat di Baghdad. Cabang-cabangnya tersebar di mana-mana, termasuk di Indonesia, sehingga tarekat ini merupakan suatu organisasi atau pergerakan.
Abdul Qadir al-Jailani terkenal sangat saleh dan mempunyai sifat warak. Makamnya di Baghdad masih ramai dikunjungi orang. Dikatakan salah satu sifatnya yang unik adalah ia dapat membedakan sufi yang palsu dan yang asli hanya dengan mencium baunya.


Silahkan Baca Juga Artikel Menarik Lainnya:

0 komentar: