Abu Dawud adalah seorang ulama, hafiz (penghafal al-Quran) dan ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan keislaman, khususnya dalam ilmu fikih dan hadis. Nama lengkapnya Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Amran al-Azdi as-Sijistani. Beliau dilahirkan di kota Sajistan pada tahun 202 H/817 M, menurut kesepakatan referensi yang memuat biografi beliau, demikian juga didasarkan keterangan murid beliau yang bernama Abu Ubaid al-Ajury ketika beliau wafat (275 H/888 M), ketika berkata: “Aku telah mendengar dari Abi Dawud, beliau berkata: Aku dilahirkan pada tahun 202 H.”
Tidak didapatkan berita atau keterangan tentang masa kecil beliau kecuali keterangan bahwa keluarganya memiliki perhatian yang sangat besar dalam hadis-hadis Rasulullah SAW, dan ini sangat mempengaruhi perkembangan keilmuan beliau di masa depannya.
Keluarga beliau adalah keluarga yang terdidik dalam kecintaan terhadap hadis-hadis Rasulullah SAW dan ilmu-ilmunya. Bapak beliau yaitu al-Asy’as bin Ishaq adalah seorang perawi hadis yang meriwayatkan hadis dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin al-Asy’as termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadis dan ilmu-ilmunya. Juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadis dari para ulama ahli hadis. Dan ini merupakan satu modal yang sangat berperan besar dalam perkembangan dan arahan beliau di masa-masa perkembangan keilmuan dan keahliannya dalam hadis dan ilmu-ilmunya yang lain dari ilmu-ilmu agama. Maka berkembanglah Abu Dawud dengan motivasi dan semangat yang tinggi serta kecintaan beliau sejak kecil terhadap ilmu-ilmu hadis. Sehingga beliau mengadakan rihlah (perjalanan) dalam mencari ilmu sebelum genap berusia 18 tahun.
Pendidikannya dimulai dengan belajar bahasa Arab, al-Quran, dan pengetahuan agama lain. Sampai usia 21 tahun ia bermukim di Baghdad. Sesudah itu, ia melakukan perjalanan panjang untuk mempelajari hadis ke berbagai tempat, seperti Hedzjaz, Syam (Suriah), Mesir, Khurasan, Rayy (Teheran), Harat, Kufah, Tarsus, Basra, dan Baghdad. Dalam perjalanan itu ia berjumpa dan berguru kepada para pakar hadis, seperti Ibnu Amr ad-Darir, Qa’nabi, Abi al-Walid at-Tayalisi, Sulaiman bin Harb, Imam Hanbali, Yahya bin Ma’in, Qutaibah bin Sa’id, Isman bin Abi Syaibah, Abdullah bin Maslamah, Musaddad bin Musarhid, Musa bin Ismail, Hasan bin Amr as-Sudusi, Amr bin Marzuq, Abdullah bin Muhammad an-Nafili, Muhammad bin Basyar, Zuhair bin Harb, Ubaidillah bin Umar bin Maisarah, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Musanna, dan Muhammad bin al-Ala.
Setelah perjalanan studi tersebut, Abu Dawud menghasilkan sebuah kitab hadis, Sunan Abi Dawud. Kitab ini, bersama kitab Jami’ at-Tirmizi (karya at-Tirmizi), musnad Ahmad ibn Hanbal (karya Imam Hanbali) dan Mujtaba’ an-Nasa’i (karya an-Nasa’i), dinilai sebagai kitab standar peringkat kedua dalam bidang hadis sesudah kitab standar peringkat pertama, yaitu Sahih al-Bukhari (karya imam Bukhori) dan Sahih Muslim (karya Imam Muslim). Karena itu, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai masuk tidaknya kitab hadis al-Muwatta’ (karya Imam Malik), Sunan Abi Dawud termasuk dalam kelompok al-Kutub as-Sittah (Enam Kitab Hadis). Khusus pada kelompok kitab hadis peringkat kedua, karya Abu Dawud tersebut sering ditempatkan pada urutan pertama.
Dalam kitabnya tersebut, Abu Dawud mengumpulkan 4.800 buah hadis dari 500.000 hadis yang ia catat dan hafal. Kitab itu disusun menurut sistematika fikih, yakni memuat hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum.
Banyak ulama hadis yang tercatat telah berguru dan mengambil hadis dari Abu Dawud, diantaranya an-Nasa’i, Abu Bakar bin Abu Dawud (anaknya sendiri), Abu Uwanah, Abu Basyar ad-Daulabi, Ali bin Hasan bin Abd, Abu Usamah Muhammad bin Abdul Mulk, Abu Sa’id bin Arabi, Abu Ali al-Lu’Lui, Abu Bakr bin Dasah, dan Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaludi.
Kitab Sunan Abi Dawud merupakan yang paling populer di antara karangan-karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul. Tidak kurang dari 13 judul kitab telah mengulas karya tersebut dalam bentuk syarh (komentar), mukhtasar (ringkasan), tahzib (revisi) dan lain-lain.
Ibnu Salah (w. 642 H/1246 M), Ibnu Mundih, dan Ibnu Abd al-Bar (ketiganya ahli hadis) menilai karya tersebut sebagai bermutu standar untuk berhujah. Seiring dengan itu, Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah mengkritik karya Abu Dawud tersebut. Kritik tersebut meliputi: (a) tidak adanya penjelasan tentang kualitas suatu hadis dan kualitas sanad (sumber, silsilah dalam hadis)-nya, sementara yang lainnya disertai dengan penjelasan; (b) adanya hadis yang daif (lemah) menurut penilaian para ahli, tetapi tanpa penjelasan kedaifannya oleh Abu Dawud; (c) adanya kemiripan Abu Dawud dengan Imam Hanbali dalam hal mentoleransi hadis yang oleh sementara kalangan dinilai daif.
Ketenaran Abu Dawud di bidang hadis bukan hanya karena Sunan Abi Dawud termasuk dalam kelompok al-Kutub as-Sittah dan kaya dengan hadis hukum sebagai ciri khasnya, melainkan juga karena kitabnya itu menjelaskan hadis-hadis yang sahih dan tidak sahih menurut penilaiannya; bahkan juga memuat rumus tentang hadis “sahih”, sebuah istilah yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal dan pada masa selanjutnya menjadi istilah ilmu hadis yang diperdebatkan para ahli, karena kesamaran tentang apa yang dimaksudkan Abu Dawud.
Di samping kepakarannya di bidang hadis, perjalanan Abu Dawud untuk mencari ilmu dari satu tempat ke tempat lain telah membentuknya menjadi pakar hukum dan kritikus pada masanya.
Abu Dawud adalah imam dari imam-imam Ahl Sunnah wal Jama’ah yang hidup di Bashra, kota berkembangnya kelompok Qadariyah, pemikiran Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah Rafidhah, Jahmiyah dan lain-lainnya. Tetapi walupun demikian beliau tetap dalam keistiqamahan di atas sunah, dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya al-Qadar. Demikian pula beliau membantah Khawarij dalam kitabnya Akhbar al-Khawarif, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya as-Sunan, yang didalamnya terdapat bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
Pada masa hidupnya di daerah-daerah tertentu sering terjadi kerusuhan yang puncaknya adalah pemberontakan Zanj pada tahun 257 H. Setelah pemberontakan itu reda, gubernur Basra, Abu Ahmad (saudara khalifah Dinasti Abbasiyah ketika itu) meminta agar Abu Dawud mau menetap di Basra, di mana bermukim para pakar dari berbagai bidang. Tetapi baru pada tahun 272 H Abu Dawud memenuh permintaan tersebut. Sejak itu sampai wafatnya, beliau menetap di kota itu.
Tidak didapatkan berita atau keterangan tentang masa kecil beliau kecuali keterangan bahwa keluarganya memiliki perhatian yang sangat besar dalam hadis-hadis Rasulullah SAW, dan ini sangat mempengaruhi perkembangan keilmuan beliau di masa depannya.
Keluarga beliau adalah keluarga yang terdidik dalam kecintaan terhadap hadis-hadis Rasulullah SAW dan ilmu-ilmunya. Bapak beliau yaitu al-Asy’as bin Ishaq adalah seorang perawi hadis yang meriwayatkan hadis dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin al-Asy’as termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadis dan ilmu-ilmunya. Juga merupakan teman perjalanan beliau dalam menuntut hadis dari para ulama ahli hadis. Dan ini merupakan satu modal yang sangat berperan besar dalam perkembangan dan arahan beliau di masa-masa perkembangan keilmuan dan keahliannya dalam hadis dan ilmu-ilmunya yang lain dari ilmu-ilmu agama. Maka berkembanglah Abu Dawud dengan motivasi dan semangat yang tinggi serta kecintaan beliau sejak kecil terhadap ilmu-ilmu hadis. Sehingga beliau mengadakan rihlah (perjalanan) dalam mencari ilmu sebelum genap berusia 18 tahun.
Pendidikannya dimulai dengan belajar bahasa Arab, al-Quran, dan pengetahuan agama lain. Sampai usia 21 tahun ia bermukim di Baghdad. Sesudah itu, ia melakukan perjalanan panjang untuk mempelajari hadis ke berbagai tempat, seperti Hedzjaz, Syam (Suriah), Mesir, Khurasan, Rayy (Teheran), Harat, Kufah, Tarsus, Basra, dan Baghdad. Dalam perjalanan itu ia berjumpa dan berguru kepada para pakar hadis, seperti Ibnu Amr ad-Darir, Qa’nabi, Abi al-Walid at-Tayalisi, Sulaiman bin Harb, Imam Hanbali, Yahya bin Ma’in, Qutaibah bin Sa’id, Isman bin Abi Syaibah, Abdullah bin Maslamah, Musaddad bin Musarhid, Musa bin Ismail, Hasan bin Amr as-Sudusi, Amr bin Marzuq, Abdullah bin Muhammad an-Nafili, Muhammad bin Basyar, Zuhair bin Harb, Ubaidillah bin Umar bin Maisarah, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Musanna, dan Muhammad bin al-Ala.
Setelah perjalanan studi tersebut, Abu Dawud menghasilkan sebuah kitab hadis, Sunan Abi Dawud. Kitab ini, bersama kitab Jami’ at-Tirmizi (karya at-Tirmizi), musnad Ahmad ibn Hanbal (karya Imam Hanbali) dan Mujtaba’ an-Nasa’i (karya an-Nasa’i), dinilai sebagai kitab standar peringkat kedua dalam bidang hadis sesudah kitab standar peringkat pertama, yaitu Sahih al-Bukhari (karya imam Bukhori) dan Sahih Muslim (karya Imam Muslim). Karena itu, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai masuk tidaknya kitab hadis al-Muwatta’ (karya Imam Malik), Sunan Abi Dawud termasuk dalam kelompok al-Kutub as-Sittah (Enam Kitab Hadis). Khusus pada kelompok kitab hadis peringkat kedua, karya Abu Dawud tersebut sering ditempatkan pada urutan pertama.
Dalam kitabnya tersebut, Abu Dawud mengumpulkan 4.800 buah hadis dari 500.000 hadis yang ia catat dan hafal. Kitab itu disusun menurut sistematika fikih, yakni memuat hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum.
Banyak ulama hadis yang tercatat telah berguru dan mengambil hadis dari Abu Dawud, diantaranya an-Nasa’i, Abu Bakar bin Abu Dawud (anaknya sendiri), Abu Uwanah, Abu Basyar ad-Daulabi, Ali bin Hasan bin Abd, Abu Usamah Muhammad bin Abdul Mulk, Abu Sa’id bin Arabi, Abu Ali al-Lu’Lui, Abu Bakr bin Dasah, dan Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaludi.
Kitab Sunan Abi Dawud merupakan yang paling populer di antara karangan-karangan Abu Dawud yang berjumlah 20 judul. Tidak kurang dari 13 judul kitab telah mengulas karya tersebut dalam bentuk syarh (komentar), mukhtasar (ringkasan), tahzib (revisi) dan lain-lain.
Ibnu Salah (w. 642 H/1246 M), Ibnu Mundih, dan Ibnu Abd al-Bar (ketiganya ahli hadis) menilai karya tersebut sebagai bermutu standar untuk berhujah. Seiring dengan itu, Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Nawawi dan Ibnu Taimiyah mengkritik karya Abu Dawud tersebut. Kritik tersebut meliputi: (a) tidak adanya penjelasan tentang kualitas suatu hadis dan kualitas sanad (sumber, silsilah dalam hadis)-nya, sementara yang lainnya disertai dengan penjelasan; (b) adanya hadis yang daif (lemah) menurut penilaian para ahli, tetapi tanpa penjelasan kedaifannya oleh Abu Dawud; (c) adanya kemiripan Abu Dawud dengan Imam Hanbali dalam hal mentoleransi hadis yang oleh sementara kalangan dinilai daif.
Ketenaran Abu Dawud di bidang hadis bukan hanya karena Sunan Abi Dawud termasuk dalam kelompok al-Kutub as-Sittah dan kaya dengan hadis hukum sebagai ciri khasnya, melainkan juga karena kitabnya itu menjelaskan hadis-hadis yang sahih dan tidak sahih menurut penilaiannya; bahkan juga memuat rumus tentang hadis “sahih”, sebuah istilah yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal dan pada masa selanjutnya menjadi istilah ilmu hadis yang diperdebatkan para ahli, karena kesamaran tentang apa yang dimaksudkan Abu Dawud.
Di samping kepakarannya di bidang hadis, perjalanan Abu Dawud untuk mencari ilmu dari satu tempat ke tempat lain telah membentuknya menjadi pakar hukum dan kritikus pada masanya.
Abu Dawud adalah imam dari imam-imam Ahl Sunnah wal Jama’ah yang hidup di Bashra, kota berkembangnya kelompok Qadariyah, pemikiran Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah Rafidhah, Jahmiyah dan lain-lainnya. Tetapi walupun demikian beliau tetap dalam keistiqamahan di atas sunah, dan beliaupun membantah Qadariyah dengan kitabnya al-Qadar. Demikian pula beliau membantah Khawarij dalam kitabnya Akhbar al-Khawarif, dan juga membantah terhadap pemahaman yang menyimpang dari kemurnian ajaran Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Tentang hal itu bisa dilihat pada kitabnya as-Sunan, yang didalamnya terdapat bantahan-bantahan beliau terhadap Jahmiyah, Murji’ah, dan Mu’tazilah.
Pada masa hidupnya di daerah-daerah tertentu sering terjadi kerusuhan yang puncaknya adalah pemberontakan Zanj pada tahun 257 H. Setelah pemberontakan itu reda, gubernur Basra, Abu Ahmad (saudara khalifah Dinasti Abbasiyah ketika itu) meminta agar Abu Dawud mau menetap di Basra, di mana bermukim para pakar dari berbagai bidang. Tetapi baru pada tahun 272 H Abu Dawud memenuh permintaan tersebut. Sejak itu sampai wafatnya, beliau menetap di kota itu.
0 komentar:
Posting Komentar